Pada artikel saya kali ini akan membahas soal Agama dan Konflik Masyarakat yang ada di indonesia.
Sebelum
membahas lebih jauh tentang kaitan Agama dan Konflik Masyarakat, mari
kita simak terlebih dahulu apa itu pengertian Agama.
Dari penjelasan Wikipedia, kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan,
sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol,
dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan /
atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan
mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu
melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No.
6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi
sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami
diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto
Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan
agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama
yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan
berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan
membantu perkembangan agama-agama tersebut.
Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi
dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena
adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri
pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya
menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan
Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak
Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Konflik Masyarakat
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik berlatar agama terjadi baik di dalam
satu kelompok penganut agama sama (intra-agama) maupun dengan kelompok
agama berbeda (antar-agama). Semua kalangan paham, konflik berlatar
belakang agama itu menimbulkan kerugian besar. Sejumlah nyawa melayang,
sebagian terluka, dan banyak warga kehilangan tempat tinggal. Di
kawasan pertikaian, umat beragama tidak aman dan tidak bebas
menjalankan ibadah sesuai keyakinan. Pada tahap lebih lanjut, kondisi
ini rawan merusak solidaritas kebangsaan Indonesia.
Sebagai contoh pada awal tahun, Februari 2012, dibuka
dengan bentrokan kelompok muka dan kelompok belakang di Pelauw, Maluku
Tengah, Maluku. Pemicunya, perbedaan keyakinan, khususnya dalam
menentukan hari besar agama. Enam tewas dan 400 rumah hangus dalam
kekerasan itu.
Pertengahan Agustus, massa jemaah Sunni menyerang
kelompok Syiah di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur. Konflik yang
dibumbui masalah keluarga itu tumbuh beberapa tahun sebelumnya, tetapi
tak dituntaskan sehingga meletup kembali. Satu tewas, 6 terluka, 37
rumah terbakar, dan 235 orang terpaksa mengungsi. Bahkan sampai saat
ini, tampaknya warga belum bisa kembali ke kampung halaman mereka.
Akhir
tahun 2012, tepatnya November, ditutup dengan bentrokan antara warga
dan kelompok pimpinan Teungku Aiyub Syakuban di Bireuen, Aceh. Warga
marah atas pengajian kelompok Teungku Aiyub yang dianggap sesat. Tiga
orang tewas dan 10 orang luka-luka.
Jika berdampak demikian serius, lantas
kenapa konflik berlatar belakang agama masih saja berulang? Masalahnya
memang masih ada faktor-faktor penyebab. Hal itu mencakup faktor dari
dalam umat beragama dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam
terkait pemahaman sebagian umat terhadap ajaran agama yang masih
sempit. Ada kelompok yang merasa benar sendiri sehingga siapa pun di
luar keyakinannya dianggap salah, bahkan patut diperangi. Mereka sulit
menerima perbedaan.
Fanatisme itu bisa semakin menguat setelah
bersinggungan dengan faktor-faktor luar. Sebut saja masalah kemiskinan,
kesenjangan ekonomi, pengangguran, pendidikan rendah, dan ketimpangan
pembangunan. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan mudah mengamuk
meski hanya dirangsang hal-hal sepele.
Saat bersamaan, pemerintah
cenderung gamang dalam menangani gejala konflik, bahkan kerap hanya
menjadi penonton. Penegak hukum—yang diharapkan bisa menjerat pelaku
kekerasan—justru lemah, bahkan menjadi bagian dari masalah.
Kondisi
demikian bisa kian runyam ketika ada kepentingan politik, katakanlah
dalam pertarungan pemilihan kepala daerah yang memainkan sentimen agama
untuk kepentingan sesaat. Semua faktor itu tentu bisa saling menopang
sehingga semakin mudah memicu konflik antar-umat beragama.
Konflik-konflik itu sangat berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi
manusia sebab konflik yang tak mampu diantisipasi sejak dini kerap
kali menimbulkan kekerasan di lapangan.
Konstitusi
Bagaimana
kita menangani konflik demi mewujudkan cita-cita kerukunan umat
beragama? Tak ada pilihan lain, kecuali kita bersungguh-sungguh merujuk
dan mengamalkan konstitusi, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan, negara
Indonesia bukan negara agama, tetapi memfasilitasi masyarakatnya untuk
mengembangkan keyakinan berketuhanan. Dasar ini lantas diterjemahkan
dalam Pasal 29 UUD 1945 bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Konstitusi itu harus
diterapkan dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara. Pemerintah
bertanggung jawab untuk memberikan jaminan atas kebebasan berkeyakinan
dan beribadah. Lindungi semua kelompok, termasuk minoritas, untuk
memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam beragama. Jangan ada
perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Cegah
gejala-gejala konflik dan segera tangani jika sudah mulai meletup.
Jangan biarkan letupan membesar, apalagi negara kalah oleh
kelompok-kelompok kekerasan. Pelaku kekerasan harus ditindak tegas
sesuai aturan hukum sehingga akan terbentuk efek jera yang bisa
mengurangi kemungkinan terulangnya perilaku serupa.
Lebih dari
itu, negara dalam hal ini pemerintah mesti berusaha mewujudkan cita-cita
negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, menciptakan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kembangkan program pembangunan secara merata di semua
bidang sehingga bisa memupus perasaan ketidakadilan. Jangan sampai
negara dinilai tidak mampu melindungi hak-hak warga atau dianggap tidak
melakukan apa-apa (pembiaran).
Para pemimpin agama mesti
meyakinkan umat, negara ini menjamin kebebasan semua agama. Meski
berbeda pendapat dan keyakinan, tak boleh ada kekerasan, penyerangan,
atau pembunuhan satu kelompok terhadap kelompok lain. Tak cukup menyeru,
elite agama harus tampil sebagai teladan yang menerima dan menghargai
perbedaan keyakinan dan mengembangkan cinta kasih pada sesama manusia.
Di
sisi lain, umat beragama terus mendalami ajaran keagamaan. Tentu semua
agama sejatinya menyerukan kebaikan, hormat atas sesama manusia, dan
mengecam segala bentuk kekerasan. Organisasi-organisasi besar keagamaan
perlu terus memperkuat diri untuk meneguhkan pemahaman yang moderat,
toleran, dan membumikan ajaran agama dalam bingkai Indonesia yang
multikultur. Sebab, para pendiri negeri ini justru mampu merekatkan
berbagai perbedaan paham, termasuk agama, sebagai fondasi kokoh sampai
hari ini.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/13245166/Penanganan.Konflik.yang.Tidak.Tuntas

Tidak ada komentar:
Posting Komentar